03 Juli 2009

cerpen

Raja Calo

Hatiku semakin gundah, jantungpun berdetak kencang hingga membuat kakiku bergetar seperti hendak menuju medan perang. Busway yang ku tumpangi meluncur deras mendekati terminal Pulo Gadung. Aku sudah kehilangan akal untuk memutuskan manakah tempat yang bisa menghantarkanku pulang ke rumah, di Purworejo, sebuah kota terpencil di bagian selatan provinsi Jawa Tengah. Yang ada dalam pikiran ku saat ini adalah bagaimana aku bisa istirahat secepatnya setelah seharian berkeliaran di kota metropolitan yang keras, kejam dan penuh dengan warna- warni kehidupan ini. Segala macam bentuk kehidupan terlukis dikota ini. Dari konglomerat yang tiap hari tertawa dengan hamburan kemewahan harta, brandalan yang turut meramaikan gemerlap kota dengan aksinya yang anarkhis hingga orang miskin yang menderita karena meratapi nasibnya atau yang masih bertahan denga berjuang mencari penghasilan dengan berbagai cara tanpa mempersoalkan hal haram atau halal. Dalam benak mereka adalah bertahan hidup dengan himpitan situasi. Betapa mirisnya… Semua gambaran itu segera dapat ku pelajari ketika pertama kali ku menginjakkan kaki di Jakarta pagi buta tadi, hingga saat ini, ketika matahari harus berganti tugas dengan bulan.
Di dalam busway ini aku harus berjubelan dengan orang-orang yang pulang dari kerja, kursi kosong pun tak tersisa, hingga membuatku terpontang-panting ke kenan dank e kiri mengikuti gerak bus. Tak jarang tanganku yang berpegang erat pada gandulan bus, terlepas dan menimpa tubuh penumpang lainnya. Maklum karena tinggiku hanya 155 cm. Sudah beruntung tanganku bisa menggapainya. Dalam situasi yang ramai seperti itupun, aku mesti siap siaga pasang telinga untuk mendengarkan intruksi transit busway berikutnya, antisipasi agar tak kesasar ke transit daerah lain. Ya karena transit halte busway tersebar seantero Jakarta.
Kondisi ini membuatku gerah, dan lelah karena harus selalu waspada, berjubel dengan orang-orang yang tak dikenaln. Apalagi aku harus berpacu dengan waktu yang mulai membuka tabir malamnya. Perutpun tak bisa diajak nego, sejak tadi sudah beberapa kali menegur untuk dimasuki makanan.
Ting…..tong…”Next stop is Pulo Gadung halte. Prepare yourself and please check your commodity. Thank you. Pemberhentian berikutnya adalah halte Pulo Gadung. Persiapkan diri anda dan bawalah barang bawaan anda. terimakasih”. Sepeti itulah kira-kira intruksi otomatis yang ku dengar tiap kali mendekati halte pemberhentian. Aku segera bergegas mendekati pintu memaksa tubuhku yang masih terhimpit untuk bersiap-siap keluar.
Bus berhenti tepat di muka halte. Ting…..tong….pintu terbuka. ku langkahkan kaki yang mulai berat ini keluar bus menuju halte yang masih terlihat baru. Tidak ada coretan di dindingnya. Lantainya bersih dan petugasnya pun berpakaian rapi layaknya karyawan kantor. Ternyata halte Pulo Gadung terletak di dalam terminal. Sejenak tubuhku kaku berdiri, hati krtar-ketir, sedangkan mataku berkeliaran menjelejahi berbagai sudut terminal. Kanan, kiri, depan dan belakang. Semuanya tak terkecuali, seperti detektif yang tengah mencari jejak pembunuhan dengan penyamaran. Sorotan mataku tajam mewaspadai jika ada tangan-tangan jahil yang mencoba menyerobot tas bawaanku dan siap siaga jika ada wajah mencurigakan yang mendekatiku.
Dalam kewaspadaan itu, sejenak ku terkesiap atas apa yang ku pikirkan. Sebenarnya apa yang membuatku takut? Mungkin aku telah terdoktrin oleh asumsi masyarakat yang beranggapan bahwa terminal Pulo Gadung adalah markas berkumpulnya para pencopet kelas kakap dan calo yang sadis. Pikiranku kembali menjelajahi seisi kota Jakarta seperti yang telah aku lihat seharian ini.Dan memang mendukung doktrin itu.
“Dek, maaf ini transit. Kalau adek ingin ke halte selanjutnya, silahkan tunggu disini. Sudah ada tempat duduk. Tapi kalau ingin ke luar kota, itu pintu keluarnya”, tutur penjaga membangunkan lamunanku.
“Oh, maaf pak, terimakasih”, jawabku sambil menundukkan kepala.
Udara dingin menghantam tubuhku dari ujung rambut hingga pangkal kaki seperti hendak melumpuhkan sisa-sisa kekuatanku. Di luar sudah banyak calo yang berkeliaran. Mereka disibukkan mencari mangsa. Kesana-kesini, mondar-mandir, ada juga yang berlari-lari untuk mendapatkan penumpang. Tak pandang bulu, dari penumpang kelas eksekutif hingga ekonomi. Bahkan tak sedikit yang memaksa dan membawakan barang. Sama sekali tidak mengenal sopan santun. Tapi itulah mereka, sudah terbiasa hidup di lingkungan yang menuntut untuk bertahan hidup. Kondisi terminal sangatlah tidak terawat. Banyak plastik bekas snack dan minuman yang bertebaran dimana-mana. jalan yang rusak telah digenangi air. Di sekelilingnya adalah warung yang berjejer-jejer sebagai pembatas bus lokal dan luar kota. Di ujung kanan terminal, terlihat sekelompok orang yang sedang asyik bermain kartu. Seperti kebanyakan pemandangan judi. Disamping ada rokok yang sedang mereka hisap, ada beberapa botol minuman keras di atas meja. Aku sampai hafal merek minuman itu’ Topi Miring’. Mayoritas mereka berambut gondrong dan berkuncir. Salah seorang dari mereka berbadan gemuk. Sambil bermain kartu, beberapa anak buahnya memijat pundaknya. Mungkin dia adalah majikan alias raja. Tapi pandanganku kurang begitu jelas melihatnya karena hanya lampu bolam 5 watt yang mereka pakai sebagai penerangan.
“Dek, dek, dek, mau kemana? Ke jawa? Salah seorang calo dari arah belakang mendekatiku, mengalihkan perhatianku dari gerombolan judi itu. Dia sepertinya tahu kelinglunganku mencari bus.
Meski demikian, tak sedikitpun aku menoleh, terus menjauh karena rasa takutku masih kental. Sesekali aku menelan ludah dan pura-pura tak mendengar. Calo itu menguntit terus. Akhirnya dia memotong langkahku.
“Ikut saya ja, ntar tak cariin bus, dah malem gini susah nyari bus lho..”rayunya.
“Eh, dek ikut saya ja”,entah datang dari mana tiba-tiba calo lain datang menawarkan hal serupa.aku bingung plus was-was. Mana tak ada satupun orang yang ku kenal lagi..
Justru terjadi adu mulut antara mereka berdua. Aku semakin gemetar. Mereka berdua sama-sama ngotot . Badan mereka kekar, hanya rambut gondrong dan kumis tebal yang membedakan calo ke-2, dan calo yang pertama bertato di tangannya sedangkan yang kedua tidak. Tangan mereka sudah mengepal. Hanya menunggu waktu saja, masing-masing otomatis berkelahi.
“Dia sudah jadi milikku”, gertak calo yang pertama sambil mencengkram tanganku yang gemetaran. Dari saku, ia keluarkan pisau mengarah ke perut calo yang kedua.
“Oke, aku pergi”tahan calo ke-2 dengan wajah pias.
“Ayo dek, masuk ke bus ja, biar adek bisa istirahat”aku di gelandang tanpa perlawanan. Hatiku kecut mengenang pisau kecil itu.
“Sudah dek, jangan terlalu dipikirkan kejadian tadi. Yang penting sekarang adek dah masuk bus” ia mencoba menenangkan ketakutanku.
Aku coba bersantai dengan meregangkan badan di atas kursi yang empuk. Ku hela nafas kelegaan. Huh, nyaman sekali bus ini. Full AC dan dilengkapi TV. Di bangku belakang sudah ada beberapa orang yang menonton sinetron. Calo itu menghampiriku lagi dengan seorang gadis yang membawa tiket.
“Turun mana dek?”
“Purworejo, pak”
“O…Rp 135.000,-”
“Lho pak mahal banget, gak mungkin aku punya uang sebesar itu. Aku tu masih pelajar, pak. Tamat SMA ja baru sebulan yang lalu. Aku cuma punya Rp 50.000,-”, aku berusaha menawar. Hatiku sudah ketar-ketir.
“Kalau gak punya uang kenapa gak bilang dari tadi?”ucapnya mulai meninggi.
“Tadi kan aku belum memutuskan”, tukasku sambil bergegas keluar bus mencoba melarikan diri.
Begitu keluar bus, aku lari terbirit-birit tak tahu arah. Calo itu tetap mengejarku. Tak sempat mencari tempat persembunyian, ia berhasil menangkapku.
“He, santai ja dek. Gak usah takut. Bisa kita bicarakan baik-baik kalau memang adek gak punya uang”ia berusaha membujuk.
“Gini dek, kamu boleh nyari bus lain yang seharga itu tapi…..”ia menyeringai. Aku tahu, pasti dia ingin menjebakku.
“Tapi apa pak”, nafasku masih ngos-ngosan.
“Adek boleh pergi dengan syarat. Karena tadi adek sudah naik bus, jadi sebagai gantinya, adek bayar Rp 50.000,-”senyumnya penuh kemenangan.
“Pak, tolong lah pak. Yang aku punya cuma uang itu. Bapak bisa geledah tasku kalau gak percaya. Nantinya aku pulang pakai apa kalau uang tak ada”pintaku memelas bercanpur takut.
Pikiranku sudah semrawut tak karuan. Tiba-tiba calo yang kedua tadi datang dengan membawa dua orang temannya. Hatiku bersorak. Mungkin dia adalah kiriman Tuhan untuk menolongku.
“Kenapa dek, ada masalah? Kok kelihatannya ketakutan”, tuturnya
“Aku cuma punya uang Rp 50.000,- untuk pulang dan aku belum dapat bus”
Aku tidak berani mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi karena bisa saja pisau milik calo yang pertama menghujam perutku.
“He, lepaskan anak itu. Sekarang sudah jelas kan dia ingin yang kelas ekonomi atau….. pengen ngajak berantem lagi”, ancam calo kedua sambil menunjukkan anak buahnya yang juga berbadan kekar. Calo pertama hanya bisa memandang kesal ke arahku.
Akhirnya aku terlepas dan diajak ke bus kelas ekonomi. Kini aku berharap terbebas dari realita ini dan segera pulang. Bus berangkat perlahan-lahan meninggalkan terminal. namun dari jendela bus, aku masih bisa melihat calo yang pertama tadi berbincang di pojok terminal dengan calo gendut alias raja calo sepeti mengungkapkan berita yang penting sekali. Kemudian mereka beranjak dari tempat mereka bergerombol mendekati calo yang kedua. Tanpa berpikir panjang, raja calo itu menghunuskan pisaunya di perut calo yang kedua dan meninggalkannya begitu saja. Seluruh tubuh ku gemetar. Orang yang kuanggap sebagai kiriman Tuhan itu roboh dengan berlumuran darah. Tak seorang pun berani melawan. Suasana menjadi gemuruh seketika. Tapi aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena tertutup oleh kerumunan orang yang melihatnya, sedangkan bus terus melaju meninggalkan terminal…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar